Saat mengadaptasi sebuah buku, para pembuat film harus menyeimbangkan penghormatan terhadap materi sumber dan basis penggemar sambil menyusun cerita yang menarik bagi audiens baru. Memuaskan pembaca setia dan mereka yang tidak terbiasa dengan karya aslinya adalah tugas yang berat. Hasilnya sangat bervariasi. Bahkan dalam perusahaan produksi yang sama, adaptasi dapat berkisar dari kegagalan kritis dan komersial hingga tambahan cerita yang disukai. Netflix memberikan contoh utama dengan adaptasi polarisasi mereka tahun 2022 dari Persuasion karya Jane Austen dan The Sandman karya Neil Gaiman.
Meskipun tidak ada satu pun formula ajaib untuk adaptasi yang hebat, beberapa faktor umum tampaknya memengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah terjemahan. Artikel ini mengkaji tiga elemen yang berhasil diterapkan dengan benar oleh banyak adaptasi buku ke film: penerjemahan karakter dan tema yang tepat, solusi kreatif untuk tantangan adaptasi, dan inovasi yang memperluas cerita untuk audiens baru. Menganalisis bagaimana produksi menangani kunci-kunci ini dapat memberikan wawasan tentang alkimia yang sulit dipahami yang mengubah buku yang bagus menjadi pengalaman menonton film yang lebih baik.
#1 Menangkap Inti Cerita Secara Akurat
Salah satu kendala terbesar dalam adaptasi adalah salah membaca atau salah memahami materi sumber. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara:
Kesalahpahaman Plot: Mungkin tampak sepele, tetapi gagal memahami sepenuhnya rangkaian peristiwa dan memahami alur cerita dapat menggagalkan adaptasi. Cerita yang rumit menjadi jauh lebih berbelit-belit di layar tanpa pemahaman yang jelas.
Kesenjangan Karakter & Tema: Hanya mengikuti alur cerita yang dangkal saja seringkali tidak cukup. Adaptasi sering kali mengabaikan makna yang lebih dalam, alur karakter, dan subteks yang membuat cerita berkesan. Jika kehidupan batin dan motivasi karakter tidak dipahami dengan baik, semuanya akan menjadi kacau.
Kurangnya Visi Visual: Membaca buku hanyalah langkah pertama. Beradaptasi dengan media visual memerlukan penataan ulang narasi, nada, dan karakterisasi secara sinematik. Tanpa rencana yang koheren untuk menerjemahkan tema-tema penting dan esensi cerita secara visual, cerita dapat hilang dalam penerjemahan. Adaptasi yang sukses memerlukan lebih dari sekadar menceritakan kembali alur cerita yang dangkal. Adaptasi menuntut pemahaman tentang inti karya tersebut - tema, perjalanan karakter, makna simbolis - dan menemukan bahasa visual yang sama menariknya untuk menciptakan kembali dinamika tersebut bagi audiens baru.
#2 Menyeimbangkan Kesetiaan pada Sumber dengan Kebutuhan Adaptasi
Karya fiksi pada dasarnya merupakan produk dari masanya, yang mencerminkan norma, isu, teknologi, dan referensi budaya masyarakat yang berlaku selama periode penulisannya. Tentu saja, elemen kontekstual ini meresap ke dalam narasi dan interaksi karakter. Namun, perjalanan waktu membawa perspektif yang berkembang yang mungkin berasal dari aspek-aspek tertentu dari teks asli. Hal ini telah memicu perdebatan tentang seberapa dekat adaptasi harus dilakukan terhadap materi sumber. Di satu sisi spektrum, beberapa berpendapat untuk kesetiaan yang hampir harfiah, melihat perubahan besar sebagai sesuatu yang tidak menghormati penulis dan cerita. Yang lain mengambil pandangan yang lebih fleksibel, mengakui bahwa adaptasi memerlukan kontekstualisasi ulang untuk audiens modern. Sebagian besar terjemahan yang berhasil tidak terlalu menyimpang ke kedua arah. Mereka menghormati elemen-elemen kunci yang membuat karya asli disukai. Pendekatan yang optimal menyeimbangkan rasa hormat terhadap sumber dengan relevansi bagi pemirsa kontemporer. Adaptasi yang paling sesuai dengan semangat esensial karya muncul dari apresiasi sejarah sastra dan kepekaan audiens yang berkembang. Dengan kehati-hatian dan nuansa, penulis skenario dapat dengan setia menerjemahkan cerita tertulis yang disukai sambil memperbaruinya untuk media baru.
#3 Menerjemahkan Tulisan ke Visual
Membawa kata-kata tertulis ke layar bukanlah proses transkripsi yang sederhana. Buku dan film pada dasarnya adalah media yang berbeda yang membutuhkan penerjemahan yang mahir antara bahasa artistiknya masing-masing. Sementara sebuah novel dapat bertahan dalam pikiran dan motivasi batin seorang tokoh, film bergantung pada penceritaan visual melalui aksi, dialog, dan eksternalisasi emosi. Penulis skenario harus menemukan cara-cara inventif untuk menyampaikan interioritas tokoh secara sinematik tanpa kehilangan momentum naratif. Teknik yang terbukti adalah menciptakan situasi yang memaksa tokoh untuk secara verbal atau fisik mewujudkan apa yang mungkin hanya mereka pikirkan di halaman. Misalnya, adaptasi TV yang diakui dari Normal People dengan indah mentransisikan gaya introspektif novel dengan membuat tokoh-tokoh secara terbuka mendiskusikan perasaan yang dipicu oleh apa yang terjadi di antara mereka.
Pemilihan pemeran juga sangat memengaruhi seberapa efektif lanskap internal diterjemahkan. Menemukan aktor yang secara intrinsik selaras untuk menghidupkan esensi karakter yang kompleks dari halaman menjadi kenyataan adalah hal yang penting. Sementara itu, keterbatasan waktu yang ketat pada film mengharuskan penyederhanaan atau penataan ulang alur cerita dan subplot tertentu. Adaptasi yang setia menyeimbangkan penghormatan terhadap alur naratif menyeluruh sambil menyesuaikan hal-hal kecil untuk aliran di layar yang optimal.
Adaptasi benar-benar merupakan bentuk seni tersendiri, dengan berbagai pendekatan yang valid. Menavigasi perbedaan penceritaan antara media sambil mempertahankan inti dan jiwa sebuah karya adalah tantangan berkelanjutan yang dihadapi setiap penulis skenario yang mengemban tanggung jawab besar untuk menghadirkan buku-buku kesayangan kepada khalayak baru dalam format visual. Dengan perawatan dan kreativitas, hal itu dapat sangat bermanfaat.